MIMPI
TERINDAH SEBELUM MATI
Sekalipun sedang sekarat,
aku masih ingat dengan ucapanku pada suatu kali. Di satuan waktu yang lain,
berkali-kali kukatakan kelak aku akan lebih dulu pergi darimu. “Mati Muda”
kataku datar. Dan kau selalu saja mengunci mulutku dengan cara mencubit
bibirku. Memutus kata-kataku yang menurutmu tidak pantas. Hanya saja pada satu
waktu, sebelum akhirnya kita harus berpisah
untuk meluncur dihembuskan ke perut bumi, kau sempat menampar pipi kiriku
ketika lagi-lagi aku mengulang kalimat tentang kematian itu. Tidak ada lagi
cubitan seperti biasanya. Aku perfikir mungkin kau sudah tak bisa bersabar
menghadapiku. Atau kau terlau takut? Padahal aku sudah begitu sering bicara
tentang daun yang bertuliskan namaku di ranting pohon itu. Bahwa dia, kataku,
sedang menguning dan beranjak kering untuk kemudian bersegera gugur. Usianya
sangat pendek, tidak akan sampai menyaingi usia kita di sana.
Tetapi kemudian kita bertemu
lagi di tempat yang kita sebut kehidupan. Hanya saja situasi yang ada sangat
berbeda. Kita masih seusia, tetapi tidak bisa dikatakan sebagai seorang yang
dewasa. Bicara saja kita masih tidak tertata rapi. Ke sana kemari, khas bahasa
anak-anak. Semua sangat berbeda dengan apa yang pernah kita lalui bersama di
satuan waktu yang lampau. Sebelum kita berdua tertiupkan ke alam ini.
Nafasku terpatah-patah. Aku
merasa sangat lelah. Seperti seorang perempuan renta yang sedang menunggu masa
tutup usia. Berjalan hanya dalam khayal yang sesungguhnya kedua kaki tak pernah
melangkah kemana pun. Tapi aku memang belum tua. Meski juga tak bisa
berlari-lari. Aku hanya terus berbaring dan berbaring. Sejak kepergian ayahku
ke surga. Mataku masih menampung sekian banyak buliran bening yang belum mendapat
giliran untuk tumpah. Aku terlanjur tertidur. Dan kini, aku bermimpi.
Ayahku berdiri dalam nuansa
yang begitu lembut namun terkesan asing bagiku. Aku mencoba memanggilanya,
tetapi suaraku tersumbat di tenggorokanku yang kering. Sudah lama sekali aku
tidak minum air lewat mulutku. Hanya selang infus yang terus menembus tangan
kananku selama ini. Ayahku begitu sunyi, seolah tak melihat kehadiranku di
sini. Barangkali debur rindu di dadaku yang membuncah tak cukup keras untuk menjadi
tanda keinginanku bertemu dengannya?
Aku melihat lagi gambaran
ketika ayahku meninggakanku dan ibuku. “Ayah harus ke luar negeri,” kata ibuku
pada suatu malam.
“Untuk apa?” tanyaku.
“Untuk bekerja,” sahut
ayahku. “Ayah janji tidak akan pergi lama. Kau bisa menandai hari dengan terus
mencoreti setiap penanggalan di kalender meja kerja ayah. Setiap hari. Dan
tanpa kau sadari, ayah sudah akan kembali di sini.”
Aku memasang wajah tak
percaya, “Ayah janji?”
Ayahku mengangguk mantap.
Ibuku tersenyum melihat tingkahku. Dan aku mengantarkannya ke bandara dengan
berat hati.
Selanjutnya, aku disibukkan
dengan mencoreti kalender milik ayahku. Tetapi ayahku pergi begitu lama. Sampai
aku kelelahan menunggu dan mulai malas mencoreti kalender seperti yang pernah
diminta ayah. Aku mulai menangis dan marah pada ibuku, juga semua orang.
Tubuhku melemah karena selalu menolak makanan bahkan minuman. Aku enggan
bicara, termasuk pada teman sepermainanku, Ramdhani. Sampai suatu hari ibuku
mengatakan kalau ayahku tidak akan pulang lagi. “Ayah sudah terbang ke surga,”
katanya.
Sejak itu aku sangat
membenci angka-angka. Aku benci penanggalan dan tidak mau melihat kalender
terpajang di rumah. Aku benci menghitung sesuatu. Aku juga mulai suka melukai
diriku sendiri. Hingga akhirnya aku jatuh sakit dan harus terbaring di rumah
sakit yang bagiku baunya sangat tidak enak.
Bayangan ayahku dan nuansa
lembut itu perlahan-lahan memudar. Aku mencari-cari dan menajamkan pandanganku,
tetapi percuma. Di hadapanku, suasana pengganti menjadi demikian putih dengan
rapat oleh kabut tebal yang mengeluarkan hawa dingin. Satu sosok laki-laki
dewasa tampak berjalan menembus kabut menuju padaku. Tubuhnya jauh lebih tinggi
dariku. Dia tersenyum dan menggandeng tanganku. Kulit tangannya terasa begitu
halus di telapaku.
Sambil mengajakku untuk
duduk, laki-laki itu bercerita tentang langit dan menyebut-nyebut surga. Aku
teringat pada ayahku dan bertanya kepada laki-laki di sebelahku, “Apa ayhaku
ada di sana?”
“Benar,” jawabnya.
“Di mana?”
“Di langit ke tujuh.”
“Apa kita bisa ke sana?”
tanyaku tak sabar.
“Kelak kita akan ke sana.
Tapi ada syaratnya.”
“Kau terlebih dahulu harus
menghitung jumlah langit itu. Kalau tidak, kau tidak akan bisa sampai ke tempat
ayahmu. Karena kau akan tersesat.”
“Kalau begitu lupakan! Aku
tidak mau menghitung. Aku benci angka-angka!” Aku berteriak.
“Di langit, kau juga bisa
menghitung bintang-bintang.”
“Aku tidak mau menghitung
langit atau apa pun.”
“Percayalah, kau akan
menyukainya.”
“Untuk apa aku menghitung
bintang-bintang?”
“Mungkin di sana ayahmu juga
sedang menghitung bintang-bintang.”
“Benarkah?”
Laki-laki itu mengangguk.
Aku memeluknya tanpa ragu-ragu. Suasana begitu hening mengurung kami berdua.
Aku menyandarkan kepalaku ke dada laki-laki itu. Tidak ada suara apapun di
tempat ini, kecuali detak jantungku sendiri. Degup yang sudah cukup lama ini
terasa sangat lemah. Aku menikmati detak jantungku yang menjelma nada indah
tersendiri bagiku.
“Apa kita bisa menghitung
suara ini?” kataku menujuk bunyi jantungku.
“Ya, tentu. Hitunglah. Akan
sangat menyenangkan kalau kita menghitung sesuatu yang kita sukai. ”
“Apa suara ini akan selalu
berbunyi selamanya?”
“Tidak. Dia akan berhenti,
kalau kau sudah mati.”
“Mati? Pergi ke surga,
seperti ayahku? Begitukah?”
“Ya.”
“Kalau aku mati, apa aku
bisa bertemu ayahku?”
“Tentu saja.”
“Aku ingin sekali suara ini
berhenti berbunyi,” kataku pelan.
“Ibumu akan beresedih jika
kau meninggalkannya,” jawab laki-laki itu.
“Jangan beritahu ibuku kalau
aku mati. Berjanjilah untuk diam. Seperti yang dilakukan ibu padaku dulu,
ketika ayah meninggalkan kami.”
“Bagaimana dengan temanmu,
Ramdani?”
Aku terhenyak. Ramdhani? Ah,
aku melupakannya. Apa aku tega meninggalkannya begitu saja? Tapi..bukankah aku
sudah mengatakan hal ini kepadanya dulu, di satuan waktu yang lain? Tentu dia
akan mengerti.
Aku baru saja akan
mengatakan pada laki-laki itu bahwa Ramdhani akan baik-baik saja jika harus
kutinggalkan, tatapi dia telah lenyap dari pandanganku. Aku tidak lagi berada
pada pelukannya. Suasana putih berkabut ini kini berganti dengan taman yang
sangat indah dan penuh dengan bunga. Aroma wangi dari kelopak-kelopak yang
bermekaran memenuhi tempat yang belum pernah sekalipun ku temui ini.
Saat itu, di kejauhan, aku
kembali melihat sosok ayahku berdiri sendiri. Kali ini dia menatap ke arahku
dan tersenyum. Aku membalas senyumannya dengan berjalan menujunya. Tetapi
pandanganku mendadak mengabur. Aku berjalan terus sampai semuanya semakin tak
terlihat olehku. Aku menghentikan langkahku dengan rasa kecewa. Aku teringat
dengan teman kecilku. Ramdhani , kalau setelah ini aku harus pergi, maka semua
yang kulihat barusan akan menjadi satu mimpi terindah sebelum matiku. Kataku
dalam hati.
Aku lihat kau duduk di
samping pembaringanku. Matamu teduh tetapi berkaca-kaca. Ruangan rumah sakit
ini lebih tampak seperti kamar mayat. Dingin, sepi, dan jiwa-jiwa yang beku.
Aku masih tertidur. Sesekali berteriak menyapamu, tetapi kau tak mendengarku.
Mimpi yang kulihat masih tersisa dengan kaburnya. Kau takkan percaya, Ramdhani,
aku bertemu ayahku dalam mimpiku.
Aku teringat dunia yang
lain. Waktu kau, Ramdhani, mencubit bibirku ketika aku bicara tentang kematian.
Tapi kini kau tampak sedikit berbeda. Wajahmu terlihat sangat ketakutan seolah
sedang menonton opera kematian. Dan, ah, Ramdhani, lihat! Ayahku datang lagi.
Mimpiku jelas kembali. Dengan cepat aku menenggelamkan diri di gambaran
mimpiku.
Di belakangku, ayahku
merentangkan tangannya untukku. Dadaku penuh rasa rindu yang tak tertawar lagi.
Dan...di arah yang berlawanan, “Hey, itu kau, Ramdhani. Kau juga di sini?” tanyaku. Tapi kau diam. Kaku. Tak lama, kau
memanggil namaku dengan sangat pelan. Nyaris tak terdengar olehku. Sebenarnya
kau mau aku datang padamu atau tidak?
Aku tidak bisa memilih.
Antara ayahku dan kau, dalam mimpiku. Nafasku sudah total terengah-engah. Ini
melelahkan, Ramdhani. Tetapi juga manyenangkan. Pengalaman unik yang tak bisa
sembarangan diceritakan. Aku yakin sekali ini jauh lebih menarik daripada
menghitung langit ataupun bintang.
Kemudian semua terpastikan.
Seseorang diatas kepalaku, menarik sesuatu
dari tubuhku. Ada yang terlepas dengan begitu lekas. Sangat cepat tetapi
sempat membuatku tercekat.
Aku lupa semua mimpiku.
Tiba-tiba ayahku sudah memelukku dengan eratnya. Sementara kau menangis di
pelukan ibuku, di ujung pembaringanku. Dokter mencabut selang infusku. Aku
berteriak untukmu, “Aku akan merindukan cubitanmu, Ramdhani.” Tapi lagi-lagi
kau tidak dapat mendengarku, melainkan hanya terus menangis.
THANKS GOD...
Created by : Nabila Mauliya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar